KUPI BEUNGOH

Aceh di Persimpangan Dua Narasi: Antara Moderasi Mualem dan Retorika Sarat Provokatif Ketua DPRA

Ketua DPR Aceh yang juga kader Partai Aceh, dalam aksi di halaman DPRA, 1 September 2025, justru melempar pernyataan provokatif dan berbau separasi .

Editor: Yocerizal
IST/SERAMBINEWS.COM
SOROT PERNYATAAN KETUA DPRA - Pemerhati sosial politik Aceh yang juga Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Fadhil Irman, menyorot pernyataan Ketua DPRA dalam aksi demo di Depan Gedung DPRA, 1 September 2025. 

Retorika Ketua DPR Aceh bisa saja dipakai pemerintah pusat untuk menjustifikasi pengetatan politik.

Bahkan memperlemah bargaining Aceh dalam menuntaskan butir-butir MoU Helsinki yang belum tuntas, mulai dari reintegrasi ekonomi hingga pengelolaan sumber daya alam.

Dari perspektif filsafat materialisme dialektika ala Tan Malaka, kontradiksi adalah motor sejarah. 

Ucapan Ketua DPR Aceh mencerminkan keresahan konkret rakyat yang masih menghadapi ketimpangan, rendahnya distribusi ekonomi pasca damai, dan janji-janji yang belum terealisasi. 

Namun kontradiksi yang tidak dikelola, justru berpotensi menjelma menjadi perpecahan presepsi politik.

Baca juga: Aksi Dokter Spesialis Mogok Terbatas Di RSUD SIM Nagan Raya

Baca juga: Penyewa Kos di Banda Aceh Perlu di Tes Kesehatan Untuk Cegah Penyakit Menular HIV

Masa Depan Stabilitas Politik Aceh 

Data terbaru BPS Aceh (2024) menunjukkan angka kemiskinan Aceh masih di atas rata-rata nasional yaitu 14,45 persen, dibanding nasional 9,36 persen. 

Sementara, dana otsus yang sudah mengalir sejak 2008 mencapai ratusan triliun rupiah. 

Ketimpangan ini menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya retorika separatis yang dimainkan sebagian elite, untuk menyalakan kembali sentimen lama di tengah rakyat yang resah.

Risikonya, masyarakat Aceh kini dihadapkan pada dua lidah partai politik lokal pemenang pemilu, yaitu  satu mengajak setia pada bingkai konstitusi, satu lagi mengumbar retorika perlawanan. 

Jika dibiarkan, bukan hanya soliditas partai yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik pada kesinambungan damai.

Pertanyaan mendasar yang muncul di publik, apakah Partai Aceh masih mampu menjaga satu suara politiknya? 

Ataukah kini masing-masing elite sedang memainkan panggung sendiri untuk memperkuat basis kekuasaan, bahkan dengan mengorbankan warisan damai MoU Helsinki?

Sejarah Aceh sudah cukup panjang memperlihatkan bahwa konflik bukan hanya lahir dari senjata, melainkan dari lidah elite yang tak terkontrol. 

Ketika pernyataan Ketua DPR Aceh berseberangan dengan garis politik Mualem, yang dipertaruhkan bukan sekadar citra partai, tetapi masa depan stabilitas politik Aceh. 

Baca juga: Misteri 5 Orang Satu Keluarga Tewas Terkubur di Indramayu, Penampakan Rumah 2 Lantai Milik Korban

Baca juga: Ahmad Sahroni Laporkan Kasus Penjarahan Rumahnya ke Polisi, Kini Ditangani Polda Metro Jaya

Jika tidak segera dilakukan langkah kongkret, perbedaan retorika dan presepsi tokoh politik ini bisa menjerumuskan Aceh kembali ke persimpangan yang rapuh.

Antara menjaga perdamaian yang sudah susah payah dirawat, atau membiarkan bara sejarah kembali menyala.

*) PENULIS adalah pemerhati sosial politik Aceh dan juga Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA).

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved