KUPI BEUNGOH
Aceh di Persimpangan Dua Narasi: Antara Moderasi Mualem dan Retorika Sarat Provokatif Ketua DPRA
Ketua DPR Aceh yang juga kader Partai Aceh, dalam aksi di halaman DPRA, 1 September 2025, justru melempar pernyataan provokatif dan berbau separasi .
Oleh: Fadhli Irman *)
POLITIK Aceh kembali memunculkan drama klasik, yaitu kesan disharmoni elite dalam satu rumah besar yang bernama Partai Aceh.
Fenomena ini terlihat jelas ketika dua tokoh sentralnya berbicara dengan nada yang saling bertolak belakang.
Muzakir Manaf (Mualem) yang juga Ketua DPA Partai Aceh, dengan konsisten menegaskan bahwa Aceh tetap berada dalam bingkai NKRI, berpegang pada Pancasila, serta menjaga warisan damai MoU Helsinki.
Namun Ketua DPR Aceh yang juga kader Partai Aceh, dalam aksi di halaman DPRA, 1 September 2025, justru melempar pernyataan provokatif dan berbau separasi “Tulis saja poin pemisahan Aceh dari pusat, biar saya teken.”
Kontradiksi ini lebih dari sekadar perbedaan gaya komunikasi politik, tapi memperlihatkan jurang tafsir di tubuh Partai Aceh sendiri.
Di satu sisi, Mualem tampil sebagai simbol moderasi, mewarisi sikap realistis yang disadari banyak mantan kombatan bahwa konflik terlalu mahal untuk diulang.
Mualem dinilai sadar, legitimasi politik Aceh di tingkat nasional bergantung pada komitmen menjaga stabilitas.
Namun di sisi lain, Ketua DPR Aceh memilih memainkan retorika identitas yang mengarah pada imajinasi separatisme.
Meski bisa saja dianggap guyonan atau bentuk shock therapy politik, pernyataan itu menampar pesan politik sang ketua partai sendiri.
Baca juga: Sembilan Sekolah Dasar di Aceh Utara Jadi Sekolah Adiwiyata
Baca juga: Gunung Burni Telong Bener Meriah Alami 251 Kali Gempa Vulkanik dan Tektonik
Dalam kacamata teori politik pasca konflik, fenomena ini mencerminkan apa yang disebut split leadership, ketika elite dalam satu gerbong tidak lagi berbicara dalam satu bahasa.
Literatur tentang peacebuilding (Paris, 2004; Galtung, 1996) mengingatkan bahwa transisi pascakonflik hanya akan kokoh jika elite mampu menjaga konsistensi narasi bersama.
Begitu retorika politik pecah, legitimasi perdamaian ikut tergerus.
Jika ditarik ke teori Sun Tzu, disharmoni internal yang disebabkan oleh perbedaan presepsi adalah kelemahan paling berbahaya.
Musuh tidak perlu menyerang jika barisan sendiri sudah membuka celah.
Retorika Ketua DPR Aceh bisa saja dipakai pemerintah pusat untuk menjustifikasi pengetatan politik.
Bahkan memperlemah bargaining Aceh dalam menuntaskan butir-butir MoU Helsinki yang belum tuntas, mulai dari reintegrasi ekonomi hingga pengelolaan sumber daya alam.
Dari perspektif filsafat materialisme dialektika ala Tan Malaka, kontradiksi adalah motor sejarah.
Ucapan Ketua DPR Aceh mencerminkan keresahan konkret rakyat yang masih menghadapi ketimpangan, rendahnya distribusi ekonomi pasca damai, dan janji-janji yang belum terealisasi.
Namun kontradiksi yang tidak dikelola, justru berpotensi menjelma menjadi perpecahan presepsi politik.
Baca juga: Aksi Dokter Spesialis Mogok Terbatas Di RSUD SIM Nagan Raya
Baca juga: Penyewa Kos di Banda Aceh Perlu di Tes Kesehatan Untuk Cegah Penyakit Menular HIV
Masa Depan Stabilitas Politik Aceh
Data terbaru BPS Aceh (2024) menunjukkan angka kemiskinan Aceh masih di atas rata-rata nasional yaitu 14,45 persen, dibanding nasional 9,36 persen.
Sementara, dana otsus yang sudah mengalir sejak 2008 mencapai ratusan triliun rupiah.
Ketimpangan ini menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya retorika separatis yang dimainkan sebagian elite, untuk menyalakan kembali sentimen lama di tengah rakyat yang resah.
Risikonya, masyarakat Aceh kini dihadapkan pada dua lidah partai politik lokal pemenang pemilu, yaitu satu mengajak setia pada bingkai konstitusi, satu lagi mengumbar retorika perlawanan.
Jika dibiarkan, bukan hanya soliditas partai yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik pada kesinambungan damai.
Pertanyaan mendasar yang muncul di publik, apakah Partai Aceh masih mampu menjaga satu suara politiknya?
Ataukah kini masing-masing elite sedang memainkan panggung sendiri untuk memperkuat basis kekuasaan, bahkan dengan mengorbankan warisan damai MoU Helsinki?
Sejarah Aceh sudah cukup panjang memperlihatkan bahwa konflik bukan hanya lahir dari senjata, melainkan dari lidah elite yang tak terkontrol.
Ketika pernyataan Ketua DPR Aceh berseberangan dengan garis politik Mualem, yang dipertaruhkan bukan sekadar citra partai, tetapi masa depan stabilitas politik Aceh.
Baca juga: Misteri 5 Orang Satu Keluarga Tewas Terkubur di Indramayu, Penampakan Rumah 2 Lantai Milik Korban
Baca juga: Ahmad Sahroni Laporkan Kasus Penjarahan Rumahnya ke Polisi, Kini Ditangani Polda Metro Jaya
Jika tidak segera dilakukan langkah kongkret, perbedaan retorika dan presepsi tokoh politik ini bisa menjerumuskan Aceh kembali ke persimpangan yang rapuh.
Antara menjaga perdamaian yang sudah susah payah dirawat, atau membiarkan bara sejarah kembali menyala.
*) PENULIS adalah pemerhati sosial politik Aceh dan juga Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA).
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.