Kupi Beungoh
Belajar Dari Pengelolaan Zakat di Lembaga Zakat Dunia
Saat itulah sistem zakat mulai diatur secara rinci dimana mencakup jenis harta yang dizakati, nisab, haul, serta golongan penerima zakat siapa saja.
Namun sayangnya, penerapan standar ini masih belum merata di seluruh lembaga zakat, terlebih lagi pada level daerah - daerah.
Di sinilah kita menemukan tantangan paling mendasar kegagalan dalam memperkuat institusionalisasi dan legalitas zakat sebagai sistem fiskal Islam yang utuh.
Dalam praktiknya, masih banyak wilayah di Indonesia yang memperlakukan zakat sebatas praktik ibadah individu saja bukan sebagai kewajiban publik yang memerlukan sistem regulasi dan tata kelola setingkat dengan pajak atau instrumen keuangan negara lainnya.
Aceh yang menerapkan syariat Islam secara formal semestinya dapat menjadi laboratorium zakat nasional.
Namun dalam kenyataannya, Aceh pun menghadapi masalah serupa. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, sebagai regulasi dasar pengelolaan zakat masih menyisakan banyak ruang pembenahan.
Beberapa pasal terkesan tidak kontekstual dengan realitas sosial hari ini, seperti penggunaan istilah “budak” dalam kategori mustahik, atau definisi “usaha” yang terlalu umum.
Yang lebih penting lagi, qanun tersebut belum mengatur secara tegas sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya.
Dimana minimnya penegakan hukum dalam urusan zakat menjadi salah satu titik lemah yang membuat tingkat kepatuhan Masyarakat menjadi rendah.
Tanpa instrumen hukum yang tegas diprediksikan zakat akan terus diperlakukan sebagai pilihan moral individual untuk beberapa tahun kedepan, bukan sebagai kewajiban yang berdampak pada ekonomi umat secara luas.
Ini berbeda jauh dari model negara seperti Pakistan atau Sudan yang menjadikan zakat sebagai bagian dari kerangka hukum fiskal yang bersifat mengikat.
Selain aspek hukum tata kelola juga menjadi tantangan krusial di Aceh. Banyak laporan menunjukkan bahwa Baitul Mal di tingkat kabupaten/kota masih kekurangan SDM yang kompeten, infrastruktur teknologi yang lemah, dan sistem informasi yang belum terintegrasi.
Hal ini berdampak pada lemahnya pendataan mustahik, minimnya transparansi laporan keuangan, dan distribusi zakat yang belum sepenuhnya tepat sasaran.
Untuk menjadikan zakat sebagai sistem keuangan Islam yang kokoh, maka arah kebijakan di Aceh dan Indonesia secara umum harus digeser dari pendekatan seremonial ke arah pendekatan kelembagaan dan struktural.
Dimana regulasi zakat harus lebih adaptif dan progresif. Lembaga zakat harus memiliki mandat yang kuat dan dilengkapi dengan sistem audit independen, ada supervisi yang transparan serta dukungan teknologi digital agar bisa menjangkau lebih banyak muzaki dan mustahik secara adil dan tertata dengan rapi.
Penting juga untuk membuka ruang kolaborasi lintas sektor dimana ada pemerintah, akademisi, ulama, dan pelaku industri keuangan syariah.
Tanpa sinergi multipihak pengelolaan zakat akan selalu berjalan di tempat, padahal tantangan sosial ekonomi umat terus berkembang apalagi pada era global saat ini.
Zakat bukan hanya instrumen ibadah tetapi juga ada amanah publik. Ia harus dikelola dengan standar yang tinggi, regulasi yang jelas, dan orientasi pembangunan yang berkeadilan.
Jika Aceh mampu memperkuat kerangka hukumnya dan menata ulang tata kelola zakat secara lebih professional, maka ada kemungkinan Aceh bisa menjadi contoh sukses pengelolaan zakat berbasis syariah yang sesungguhnya bukan hanya simbolik tapi berdampak nyata bagi pemberdayaan umat dimana bisa kita liat pada kesejahteraan seluruh Masyarakat dan bisa memberantas angka kemiskinan.
Zakat juga bisa menjadi kekuatan ekonomi yang mampu menggerakkan pemberdayaan dan menghadirkan solusi riil atas ketimpangan yang terus membesar.
Namun untuk mewujudkan peran itu, kita tidak cukup hanya dengan kampanye kesadaran. Kita butuh lompatan besar dalam sistem, regulasi dan inovasi tata Kelola yang baru.
Zakat seharusnya tidak hanya berhenti pada memberi saja tapi juga membangun. Agar itu tercapai, ada lima langkah strategis yang perlu segera dilakukan: pertama, revisi regulasi zakat di tingkat lokal agar lebih relevan dan aplikatif.
Kedua, meningkatkan literasi zakat melalui sosialisasi yang dilakukan secara aktif, media digital dan pendidikan berbasis komunitas.
Ketiga, adopsi teknologi digital secara menyeluruh dalam sistem penghimpunan, distribusi, dan pelaporan.
Keempat, penguatan kapasitas SDM melalui pelatihan dan rekrutmen profesional. Dan kelima, memperkuat transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat termasuk laporan keuangan terbuka dan audit independen.
Langkah lebih jauh, bisa dengan diperlukan regulasi nasional yang tegas dan integrasi zakat ke dalam sistem fiskal negara, termasuk kolaborasi dengan sistem perpajakan dan perbankan, kemudian memberikan sansi berupa hukuman atau denda apabila zakat tidak dibayarkan.
Dengan begitu, zakat bisa menjadi instrumen pemerataan sosial dan pembangunan ekonomi umat yang terukur dan berkelanjutan.
Jika zakat dikelola dengan standar tinggi, profesionalisme, dan integritas, maka ini akan berdampak positif bagi negara dan Masyarakat apalagi pada keadaan saat ini dengan keadaan ekonomi yang sulit akan saangat membantu dan bisa menjadi jantung dari keuangan Islam dan kesejahteraan umat.
Indonesia dan Aceh punya potensi besar untuk itu tinggal keberanian untuk berbenah dan bergerak bersama menuju kebangkitan ekonomi. (*)
*) PENULIS adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.